Stok beras merupakan indikator penting dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Pemerintah kerap mengklaim bahwa stok beras nasional “aman,” namun realita di lapangan sering menunjukkan hal sebaliknya: harga melonjak, pasokan langka, dan terjadi kepanikan publik. Ketidaksesuaian antara data dan kenyataan inilah yang menjadi dasar kecurigaan adanya rekayasa.
Semua program, seluruh kebijakan, ia targetkan untuk mencapai swasembada, termasuk di sektor pangan. Prabowo hendak mengulang pencapaian mantan mertuanya, Presiden Soeharto, pada 1984 yang membukukan produksi beras lebih besar dibanding konsumsi.
Salah satu dugaan utama adalah adanya manipulasi data dari tingkat petani hingga instansi pusat. Angka produksi yang dilaporkan lebih tinggi dari realita, sehingga seolah-olah stok nasional aman, padahal tidak.
Importasi beras kerap menjadi solusi instan saat terjadi kelangkaan. Namun, ini membuka celah untuk permainan para importir yang bisa menahan pasokan atau memengaruhi harga. Bahkan ada dugaan bahwa kelangkaan diciptakan secara sengaja demi membuka kuota impor.
Beras yang sudah tersedia di gudang Bulog sering kali tidak cepat disalurkan ke masyarakat. Ada rantai birokrasi dan distribusi yang membuat beras ‘tertahan’, padahal masyarakat sudah membutuhkannya.
Apa Solusinya?
- Transparansi Data dan Audit Independen: Pemerintah perlu melibatkan pihak independen untuk memverifikasi data produksi dan stok.
- Digitalisasi Sistem Distribusi: Dengan teknologi, jalur distribusi bisa dipantau real time dan lebih akuntabel.
- Dukungan Langsung ke Petani: Alih-alih impor, fokus seharusnya pada peningkatan produktivitas dan insentif bagi petani lokal.
Permainan di balik stok beras nasional bukan sekadar soal angka. Ini soal keadilan, kesejahteraan petani, dan stabilitas pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita membutuhkan kebijakan berbasis data yang jujur dan transparan, bukan akal-akalan yang menyesatkan.